Rabu, 24 Oktober 2012

CARA MEMBUAT LAPORAN ARUS KAS

Mengapa Laporan Arus Kas diperlukan
Dengan adanya Laporan Laba/Rugi dan Neraca, kita bisa mengetahui posisi keuangan perusahaan pada saat tertentu (dilihat dari Neraca) dan mengetahui hasil aktivitas usaha (Laba atau Rugi) perusahaan untuk periode tertentu. Akan tetapi karena laporan keuangan sebagian besar menganut sistem accrual (pendapatan dan cost/biaya diakui pada saat transaksi terjadi meskipun realisasi kas belum terjadi).

Adapun fungsinya adalah untuk mengetahui realisasi kas masuk dan keluar perusahaan, sehingga dapat diprediksi potensi realisasi kas di masa yang akan datang (tingkat liquiditas). Termasuk juga untuk mengetahui potensi kemampuan perusahaan untuk membagikan keuntungan perusahaan kepada pemegang saham dalam bentuk kas (pembagian dividen),

Bukankah saldo akhir kas sudah bisa dilihat pada Neraca ?....

Benar, tetapi dari neraca, belum tergambar secara terperinci, mengenai :
(-) Dari aktivitas apa saja kas dihasilkan ?
(-) Untuk aktivitas apa saja kas dikeluarkan ?.

Untuk itulah, Laporan Arus Kas diperlukan.


Elemen-elemen Laporan Arus Kas
Realisasi Kas (kas masuk/keluar) dikelompokkan ke dalam tiga jenis aktifitas, yang selanjutnya menjadi elemen Laporan Arus Kas, yaitu :

Aktifitas Operasi (Operating Activities)
Arus kas (masuk/keluar) yang berasal dari kegiatan utama perusahaan (yang biasa disebut operasional perusahaan), yang tercermin dari Laporan Laba/Rugi perusahaan.

Aktifitas Investasi (Investing Activities)Arus kas (masuk/keluar) yang berasal dari aktivitas-aktivitas investasi. Kegiatan yang digolongkan ke dalam kelompok ini adalah semua kegiatan kas yang terkait dengan aktifitas pembelian/penjualan aktiva perusahaan, penerimaan/pengeluaran kas terkait dengan piutang perusahaan dengan entitas lain.

Aktifitas Pendanaan (Financing Activities)
Arus kas yang berasal dari transaksi utang (kewajiban) perusahaan, baik yang berupa penambahan maupun pelunasan utang. Arus kas yang berasal dari penerbitan saham atau instrument sekuritas lainnya pun dimasukkan ke dalam kelompok ini.


Cara Membuat Laporan Arus Kas
Untuk membuat Laporan Arus Kas, diperlukan sumber data sebagai berikut :

(-) Laporan Laba Rugi Tahun Berjalan (Current Book)
(-) Neraca Perbandingan Tahun Berjalan dengan Neraca tahun sebelumnya

Sebagai ilustrasi, kita akan membuat Laporan Arus Kas Tahun 2007, dan berikut adalah contoh Laporan Laba Rugi Tahun 2007 (karena keterbatasan screen capture, gambar terpaksa terpotong jadi 2).




Catatan : dari contoh Laporan Laba Rugi di atas, dapat kita lihat, perusahaan dalam keadaan merugi sebesar $ 163,418.

Proses berikutnya adalah membandingkan antara Neraca tahun sebelumnya (2006) dengan Neraca Tahun Berjalan (2007), tujuannya adalah guna memperoleh data aktivitas keuangan perusahaan pada tahun 2007. Maka kita akan memperoleh bentuk laporan seperti dibawah ini :



Perhatikan kolom terakhir “NET CHANGE” (anda bisa menggantinya dengan nama kolom lain, misalnya : “NET ACTIVITIES” atau lainnya, yang penting artinya sama)

Ini adalah aktivitas yang terjadi dari 01 Januari sampai dengan 31 Desember 2007, diperoleh dengan cara mengurangkan kolom “YEAR 2007” dengan “YEAR 2006” :

(a). Pada kelompok “ASSET” (Aktiva) :

Jika angka yang dihasilkan pada kolom ini bertanda positive, artinya : terjadi pengeluaran kas. Misalnya : pada “Employee Cash Advance” , net change-nya adalah $ 37,402 artinya untuk cash advance perusahaan mengeluarkan kas sebesar $37,402.
Sebaliknya jika angka pada kolom ini bertanda negative, artinya : terjadi penerimaan kas. Misalnya : pada “Account Receivable” net change-nya adalah ($ 25,906), artinya telah terjadi realisasi kas masuk sebesar $ 25,906 sebagai hasil dari penerimaan pelunasan piutang (receivable).

(b). Pada Kelompok “LIABILITIES” dan “EQUITY” (Passiva) :

Jika angka yang dihasilkan pada kolom ini bertanda positif, artinya : telah terjadi realisasi kas masuk, demikian sebaliknya.

Dengan adanya “Laporan Laba/Rugi” dan “Neraca Perbandingan” yang telah dilengkapi dengan kolom NET CHANGE seperti diatas, maka kita sudah siap untuk menyusun Laporan Arus Kas.

Seperti telah disebutkan bahwa, Laporan Arus Kas terdiri dari :


A. Arus Kas dari Aktifitas Operasi (Operating Activities)

Sumber data berasal dari “Laporan Laba Rugi Tahun 2007”, pada contoh di atas, dari hasil operasi perusahaan selama tahun 2007, perusahaan mengalami kerugian sebesar $ 163,418, sehingga angkanya bertanda negative (Jika perusahaan memperoleh laba, maka tandanya akan positive). Laba/rugi dikurangi dengan Cost/Expense non cash (depreciation & amortization). Kebetulan dalam contoh di atas, non cash expense/cost hanya depreciation dan amortization saja. Dalam kasus lain, mungkin saja ada selisih keuntunga/kerugian kurs, jika ada maka itu harus di eliminasi juga. Maka akan diperoleh Arus kas dari aktifitas operasi.


B. Arus Kas dari Aktifitas Investasi (Investing Activities)

Pindahkan angka dari kolom “NET CHANGE” pada Neraca Perbandingan dari kelompok Asset (kecuali rekening kas tidak diikutkan), ke dalam kelompok ini. Angka bertanda positive diubah menjadi negative, begitu juga sebaliknya. Jumlahkan semua angka (bisa menggunakan formula “=sum(…….)" seperti yang saya lakukan). Maka akan diperoleh Arus Kas dari Aktifitas Investasi.


C. Arus Kas dari Aktifitas Pendanaan (Financing Activities)

Pindahkan angka dari kolom “NET CHANGE” pada Neraca Perbandingan dari kelompok Liabilities & Equity ke dalam kelompok ini. Angka bertanda positive biarkan tetap positive dan yang bertanda negative biarkan tetap negative. Lalu Jumlahkan. Maka akan diperoleh Arus Kas dari Aktifitas Pendanaan.


D. Total Aktifitas Kas (Total Cash Activities)

Diperoleh dengan menjumlahkan angka total dari masing-masing kelompok A, B & C di atas.


E. Saldo Awal Kas (Cash Beginning Balance)

Saldo Awal Kas (Cash Beginning Balance) diambil dari Neraca Tahun 2006


F. Saldo Kas yang Seharusnya (Expected Cash Ending Balance)

Diperoleh dengan menjumlahkan Total Aktivitas Kas dengan Saldo Awal Kas


G. Saldo Akhir Kenyataannya (Actual Cash Ending Balance)

Diambil dari Kas pada Neraca Tahun 2007


H. Selisih (Variance)

Lakukanlah pengujian akhir dengan membandingkan antara Expected Cash Ending Balance dengan Actual Cash Ending Balance, jika variance-nya 0 (nol), maka laporan arus kas telah sesuai.

Jika semua langkah di atas telah selesai dibuat, maka hasilnya akan nampak seperti dibawah ini :

Rabu, 19 September 2012

Cara Mudah Menghitung Harga Pokok Penjualan Sekaligus Alurnya..

Bagimana caranya menghitung harga pokok penjualan? Pertanyaan ini sering  gunakan untuk test penerimaan calon pegawai di bagian accounting. Melalui tulisan ini saya ingin share cara mudah menghitung harga pokok penjualan, beserta alurnya, dengan bagan grafis sederhana (agar mudah diingat). Mungkin tidak applicable untuk segala kondisi, tetapi (mudah-mudahan) bisa menjadi awal pemahaman yang tentunya masih perlu dilengkapi dengan panduan-panduan dari buku dan literature.

Siapa Bilang Menghitung Harga Pokok Penjualan Hanya Urusan Cost Accountant?

Kembali ke pertanyaan yang sering  diajukan dalam test penerimaan staf accounting. Jawaban mereka, bervariasi. Tentu saja ada yang benar dan ada yang salah. Tak sedikit juga jawaban yang membuat saya tersenyum kecut—prihatin persisnya.
Bagaimana tidak prihatin, suatu ketika, seorang kandidat yang melamar posisi cost accountant tidak tahu caranya menghitung harga pokok penjualan—padahal perhitungan harga pokok penjualan adalah fundamentalnya akuntansi biaya (cost accounting).
Yang lebih memperihatinkan lagi, salah seorang kandidat yang melamar posisi chief accountant dengan penuh percaya diri bertanya:
Apakah perusahaan bapak menerapkan sistim persediaan periodik?
Saya jawab, ‘Tidak. Kami menerapkan sistim perpetual
Oh. Kalau begitu tidak perlu menghitung HPP, pak. Kan sudah dijurnal saat terjadi penjualan,” dia menyampaikan pandangannya.
Betul. Dalam sistim persediaan perpetual, harga pokok penjualan diakui saat barang laku terjual. Tetapi biasanya perusahaan tidak terlalu yakin jika dia benar-benar memahami konsep harga pokok penjualan dengan baik. salah satu yang dapat saya kutip dari interview saat penerimaan pegawai
Misalnya, Pak. Terjadi penjualan barang persediaan maka dijurnal:
[Debit]. Piutang Dagang
[Kredit]. Penjualan
Dan;
[Debit]. Harga Pokok Penjualan
[Kredit]. Persediaan Barang Jadi
Jurnalnya sudah benar. Lalu di minta dia mengisikan angka di masing-masing jurnalnya. Dan, dia memasukan angka (saya tidak ingat persisnya), tetapi kurang-lebih sbb:
[Debit]. Piutang Dagang = Rp 20
[Kredit]. Penjualan = Rp 20
Dan;
[Debit]. Harga Pokok Penjualan = Rp 15
[Kredit]. Persediaan Barang Jadi = Rp 15
interviewer bertanya lagi, “Mengapa kalau penjualannya Rp 20 trus HPP-nya jadi Rp 15? Apakah boleh jika angka 15 itu saya ganti dengan angka 5 atau 1,000,000 atau angka apa saja yang saya suka?
Melihat dia cuma diam dan nampak bingung, saya ganti pertanyaanya dengan ekspresi yang lebih tegas, “Saat anda membuat jurnal transkasi penjualan, dari mana anda tahu harga pokok penjualan sebesar angka yang anda masukan dalam jurnal?
Biasanya sudah ada di system, pak,” dia menjawab dengan jujur.
Mendapat jawaban seperti itu, lalu saya mendesak dia dengan pertanyaan, “Dan, anda PERCAYA dengan angka yang di sistem itu?
Kan sudah dihitung oleh cost accountant, pak. Bukan tanggungjawab saya.”
Dari sana interviewer mengambil kesimpulan bahwa kandidat tidak sungguh-sungguh memahami teknis perhitungan harga pokok penjualan. Dan dia bukan orang yang tepat untuk berada dalam team . Yang mungkin luput dari pertimbangannya adalah: seorang cost accountant berada di bawah tanggungjawabnya—sebagai seorang chief accountant.
Lepas dari itu semua, khususnya chief accountant, harus bisa menjamin akurasi setiap digit angka yang tersaji dalam laporan keuangan—termasuk harga pokok penjualan yang “muncul di system.” Nah, jika darimana datangnya (teknis perhitungannya) saja tidak tahu, bagaimana bisa menjamin angka yang dihasilkan sudah akurat atau belum.
Mengenai angka harga pokok penjualan satuan yang suda ada di sistem (software) akuntansi perusahaan, TIDAK muncul begitu saja, melainkan melalui perhitungan teknis—entah itu dilakukan secara manual (lalu diinput ke sistem) atau melalui proses otomatisasi dengan menggunakan variable-variable data yang dimasukan saat proses produksi berlangsung.
Pada perushaan-perusahaan yang menerapkan “standard costing, perhitungan harga pokok penjualan biasanya diotomatisasi dengan menggunakan input data yang dimasukan pada saat suatu product (barang) dirancang di bagian Research and Development. Unit cost (harga pokok satuan) suatu produk terdiri dari berbagai element cost (yang sudah distandarisasi) yang kemudian membentuk apa yang disebut dengan ‘Bill of Materials” (BOM). Bagimanapun juga, tetap melalui alur pehitungan yang menggunakan konsep dasar harga pokok penjualan.
Yang ingin saya sampaikan (melalui ilustrasi kasus di atas) adalah:
“Mampu menghitung harga pokok penjualan adalah wajib bagi seorang akuntan—terlepas apakah dia seorang cost accountant atau bukan.”
Bahkan seorang auditor—yang nota benanya lebih banyak menggeluti akuntansi keuangan (dibandingkan akuntantansi biaya/akuntansi manajemen)—pun wajib tahu. Tidak menutup kemungkinan, seorang auditor perlu menguji akurasi angka-angka yang ada di Laporan Laba Rugi yang pastinya mengandung harga pokok penjualan.
Melalui tulisan ini saya ingin share cara mudah menghitung harga pokok penjualan, sekaligus alurnya. Jika tertarik, silahkan ikuti sampai selesai. oke.....

Perhitungan Harga Pokok Penjualan Sederhana

Perhitungan Harga Pokok Penjualan yang paling sederhana adalah sbb:
Saldo Awal Persediaan + Pembelian (atau penambahan persediaan) – Saldo Akhir Persediaan = Harga Pokok Penjualan
Perhitungan sederhana itu bisa diterapkan pada jenis perusahaan dagang yang jenis persediaannya hanya berupa barang jadi—yang dibeli dari pemasok. Misalnya:
Data persediaan UD. JAK (pedagang eceran beras) untuk tahun 2012 adalah sbb:
Saldo awal persediaan = Rp 5,000,000
Pembelian beras dari 1 Januari s/d 31 Desember 2012 = Rp 85,000,000
Saldo Akhir Persediaan per 31 Desember 2012 = Rp 3,000,000
Harga Pokok Penjualan 2012 = 5,000,000 + 85,000,000 – 3,000,000
Harga Pokok Penjualan 2012 = 87,000,000
Itu perhitungan harga pokok penjualan beras pada perusahan dagang beras. Perhitungan menjadi agak rumit untuk perusahan manufaktur—yang barang persediaannya dibuat sendiri (baik itu sebagian atau keseluruhan).
Bagaimana menghitung harga pokok penjualan perusahaan manufaktur?
Yuk kita pindah ke paragraph berikutnya…

Alur Perhitungan Harga Pokok Penjualan Perusahaan Manufaktur

Menghitung harga pokok penjualan untuk perusahaan manufaktur menjadi sedikit lebih rumit, jika dibandingkan dengan perusahaan dagang, karena adanya “persediaan bahan baku” (raw materials) yang diolah menjadi “persediaan barang dalam proses” (work in process—biasanya disingkat WIP), lalu barang jadi (finished goods—biasa disingkat FG).
Proses pengolahan dari bahan baku menjadi barang dalam proses lalu barang jadi menimbulkan cost-cost lain, diantaranya: “biaya tenaga kerja langsung” (labor cost) dan “overhead produksi” (production overhead).
Secara garis besar alur proses produksi adalah sbb:
Bahan Baku (raw materials) dikeluarkan dari gudang ==> Bahan baku diolah menjadi barang dalam proses (work in process) ==> Barang dalam proses diolah lagi menjadi barang jadi (finished goods).
Nah, perhitungan harga pokok penjualan mengikuti alur produksi di atas. Berikut adalah bagan alur perhitungan yang saya buat sedemikian rupa sehingga menjadi lebih sederhana dan mudah dipahami:
Cara Menghitung Harga Pokok Penjualan

Penjelasan:
Dari bagan di atas jelas terlihat bahwa, alur penghitungan “Harga Pokok Penjualan” perusahaan manufaktur melalui 4 tahapan, mengikuti alur produksi, yang terdiri dari:
  • Tahap-1. Perhitungan “Bahan Baku Yang Digunakan”
  • Tahap-2. Perhitungan “Total Biaya Produksi”
  • Tahap-3. Perhitungan “Harga Pokok Produksi”
  • Tahap-4. Pergitungan “Harga Pokok Penjualan”
Berikut adalah penjelasan lebih rincinya:

Tahap-1. Perhitungan BAHAN BAKU YANG DIGUNAKAN:
Saldo Awal Persediaan Bahan Baku – Yang dimaksud dengan “saldo awal persediaan bahan baku” adalah total nilai persediaan bahan baku di awal periode yang dihitung (awal bulan untuk bulanan dan awal tahun untuk tahunan). Saldo awal periode yang dihitung sama dengan saldo akhir periode sebelumnya yang secara global bisa dilihat di Neraca, sedangkan per jenis bahan baku bisa dilihat di buku persediaan (inventory ledger) dan kartu stock. Cakupan “bahan baku” dalam hal ini termasuk: bahan penolong/pembantu/apapun namanya.
Pembelian Bahan Baku – Yang dimaksud dengan “pembelian bahan baku” dalam hal ini adalah total pembelian bahan baku (termasuk bahan penolong) NETO selama periode yang dihitung. Misalnya: “Perhitungan HPP untuk bulan Juni 2012”, berarti total pembelian bahan baku dari 1 s/d 30 Juni 2012. Jika “Perhitungan HPP untuk Tahun 2012”, berarti total pembelian bahan baku dari 1 Januari s/d 31 Desember 2012. Bisa dilihat di buku besar persediaan. Dan “NETO” dalam hal ini artinya: sudah memperhitungkan pengurangan dan penambahan akibat adanya discount, rabat, dan retur.
Saldo Akhir Persediaan Bahan Baku – Yang dimaksud dengan “saldo akhir persediaan bahan baku” adalah total nilai persediaan bahan baku (yang tersisa) pada akhir periode yang dihitung—setelah dilakukan penghitungan fisik dan penyesuaian-penyesuaian.
Bahan Baku yang Digunakan – Yang dimaksud dengan “bahan baku yang digunakan” dalam hal ini adalah total bahan baku yang diolah (diproduksi) untuk menghasilkan produk yang diinginkan. Angka ini (Rp 67,000 dalam contoh) diperoleh dengan menggunakan formula perhitungan seperti yang terlihat pada bagan: saldo awal persediaan bahan baku + pembelian bahan baku – saldo akhir persediaan bahan.

Tahap-2. Perhitungan TOTAL BIAYA PRODUKSI
Bahan Baku yang Digunakan – Ini pindahan dari perhitungan tahap-1
Biaya Tenaga Kerja Langsung – Yang dimaksud dengan “biaya tenaga kerja langsung” adalah total upah karyawan/buruh yang pekerjaannya berimplikasi langsung terhadap volume output produk yang dihasilkan. Angkanya bisa dilihat dari daftar pembayaran gaji untuk karyawan yang masuk dalam kelompok “tenaga kerja langsung”. Yang masuk dalam kelompok tenaga kerja langsung adalah pegawai yang dibayar berdasarkan jumlah jam kerja (yang ada rate per jamnya) atau berdasarkan volume pekejaan yang diselesaikan (biasa disebut borongan). Sedangkan pegawai bagian produksi di luar kriteria itu, tidak ikut dihitung.
Overhead Produksi – Overhead ini sering menjadi sumber kebingungan dan simpang-siur. Begini saja, yang dimaksud dengan “overhead produksi” adalah segala biaya yang berhubungan dengan aktivitas produksi SELAIN bahan baku dan biaya tenaga kerja langsung (lihat bahan penjelasan mengenai bahan baku di tahap-1). Termasuk dalam kelompok ini adalah biaya yang timbul dari aktivitas packaging, pengiriman barang, biaya pemeliharaan mesin dan peralatan, biaya pemeliharaan gedung pabrik dan gudang, penyusutan mesin dan peralatan, penyusutan gedung pabrik dan gudang.
Total Biaya Produksi – Yang dimaksud dengan “total biaya produksi” dalam hal ini adalah semua biaya yang timbul akibat aktivitas produksi yang berlangsung selama periode yang dihitung—termasuk bahan baku yang digunakan (itu sebabnya mengapa “biaya bahan baku yang digunakan” dari perhitungan tahap-1 diikutsertakan) ditambah biaya tenaga kerja langsung dan overhead produksi.
Note: Sampai pada tahap ini, perhitungan telah mencerminkan segala biaya/cost yang timbul dari aktivitas produksi selama periode yang dihitung, TETAPI belum mengikutsertakan penggunaan “persediaan barang dalam proses” yang merupakan SISA (saldo akhir) periode sebelumnya. Itu sebabnya mengapa hasil perhitungan sampai pada tahap-2 ini disebut “Biaya produksi” saja—BELUM disebut Harga Pokok Produksi. Lanjut ke tahap-3…

Tahap-3. Perhitungan HARGA POKOK PRODUKSI
Total Biaya Produksi – Ini pindahan dari perhitungan tahap-2 (baca note di tahap-1)
Saldo Awal Persediaan Barang Dalam Proses – Yang dimaksud dengan “saldo awal persediaan barang dalam proses” adalah total nilai persediaan barang dalam proses di awal periode yang dihitung. Saldo awal periode yang dihitung sama dengan saldo akhir periode sebelumnya yang secara global bisa dilihat di Neraca, sedangkan rincian per item/jenis barang bisa dilihat di buku persediaan (inventory ledger) persediaan barang dalam proses.
Saldo Akhir Persediaan Barang Dalam Proses – Yang dimaksud dengan “saldo akhir persediaan barang dalam proses” adalah total nilai persediaan barang dalam proses (yang tersisa) pada akhir periode yang dihitung—setelah dilakukan penghitungan fisik dan penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan.
Harga Pokok Produksi – Yang dimaksud denga “harga pokok produksi” adalah segala biaya/cost yang timbul dari aktivitas produksi pada masa yang dihitung (itu sebabnya mengapa total biaya produksi dari hasil perhitungan tahap-2 diikutsertakan) ditambah dengan saldo awal persediaan barang dalam proses, lalu dikurangi saldo akhirnya.
Note: Ketiga tahap (dari tahap-1 s/d tahap-3) ini sudah mewakili semua biaya/cost yang timbul dari aktivitas suatu proses manufaktur (pabrikan). Dengan kata lain, mencerminkan semua biaya/cost yang timbul akibat proses pengolahan dari bahan baku menjadi barang yang siap untuk dijual. Kasarannya, angka ini mewakili nilai persediaan barang jadi yang berhasil dibuat selama periode yang dihitung. TETAPI belum mengikutsertakan penggunaan persediaan barang jadi SISA dari periode sebelumnya. Itu sebabnya mengapa hasil perhitungan sampai tahap-3 ini disebut “Harga Pokok Produksi” saja—BELUM disebut Harga Pokok Penjualan. (Untuk menentukan HARGA POKOK PRODUKSI SATUAN, perhitungan dibuat ditahap ini dengan cara membagi total nilai harga pokok produksi dengan jumlah output produk yang dihasilkan selama periode tersebut, dibuat per jenis/item produk.)

Tahap-4. Pergitungan HARGA POKOK PENJUALAN (HPP)
Harga Pokok Produksi – Ini pindahan dari perhitungan tahap-3 (baca note di tahap-3)
Saldo Awal Persediaan Barang Jadi – Yang dimaksud dengan “saldo awal persediaan barang jadi” adalah total nilai persediaa barang jadi di awal periode yang dihitung. Saldo awal periode yang dihitung sama dengan saldo akhir periode sebelumnya yang secara global bisa dilihat di Neraca, sedangkan rincian per jenis/item barang bisa dilihat di buku persediaan (inventory ledger) barang jadi dan kartu stock.
Barang Tersedia Untuk Dijual – Yang dimaksud dengan “barang tersedia untuk dijual” adalah total nilai persediaan barang jadi—yaitu: barang jadi yang dihasilkan selama periode yang dihitung ditambah dengan saldo awal persediaan barang jadi (alias sisa barang jadi dari periode sebelumnya)—yang tersedia atau siap untuk dijual.
Saldo Akhir Persediaan Barang Jadi – Yang dimaksud dengan “saldo akhir barang jadi” adalah nilai persediaan barang jadi (yang tersisa) di akhir periode yang dihitung—tentunya setelah melalui penghitungan fisik dan rekonsiliasi (antara fisik barang dan catatan), serta adjustments yang diperlukan telah dimasukan.
Harga Pokok Penjualan (HPP) – Inilah hasil (angka) yang diperoleh diujung alur proses—setelah melalui empat tahap penghitungan—untuk menentukan harga pokok penjualan perusahaan manufaktur.
Tentu ini bukan panduan yang komprehensif, tetapi saya berharap ini bisa menjadi panduan awal yang bisa membantu teman teman untuk memahami alur penghitungan harga pokok penjualan (HPP) dengan lebih mudah. Untuk panduan yang lebih komprehensif silahkan baca kembali buku-buku akuntansi manajemen dan akuntansi biaya.
sekian mengenai harga pokok penjualan..
semoga sukses!!!

Ayat Jurnal Penyesuaian


Penyesuaian tidak berarti pembetulan dari kesalahan yang terjadi, karena setiap kesalah pada komputer akuntansi dapat langsung dilakukan pada record yang diketahui salah. Penyesuaian merupakan hal yang penting pada sistem periodical system yang dilakukan pada saat penyusunan laporan keuangan. Perpetual system sesungguhnya tetap membutuhkan penyesuaian hanya saja dilakukan dalam waktu yang tidak ditentukan, sehingga banyak yang mengatakan dalam perpetual system tidak dibutuhkan penyesuaian.
Hal-hal yang perlu mendapat penyesuaian
 pada akhir periode akuntansi adalah :
a. Pengakuan biaya penyusutan; sebagai contoh, kendaraan A memiliki
masa ekonomis 5 tahun. Selama lima tahun, pada akhir periode
perusahaan mencatat jurnal penyesuaian untuk mengakui penurunan
nilai kendaraan A. Penurunan nilai aktiva tetap diakui sebagai biaya
penyusutan. Pencatatan transaksi penyusutan ini menggunakan akun
kontra, yaitu akun Akumulasi penyusutan aktiva tetap.
b. Pengakuan biaya supplies; sebagai contoh, perusahaan membeli alat
untuk dikonsumsi sedikit demi sedikit. Berdasar PABU, perusahaan
dapat mencatat penggunaan supplies tersebut pada akhir periode. Oleh
karenanya, pada akhir periode perusahaan mencatat jurnal
penyesuaian untuk mengakui supplies yang telah menjadi biaya.
c. Pengakuan biaya yang berasal dari biaya dibayar dimuka; sebagai
contoh, perusahaan membayar dimuka sewa gedung pada 1 Oktober
2007 untuk masa sewa 1 tahun. Dalam situasi ini maka pada tanggal 1
Oktober 2007 biaya sewa gedung yang dibayar dimuka tersebut
merupakan piutang, belum menjadi biaya. Biaya sewa dibayar dimuka
ini akan berubah menjadi biaya seiring dengan berlalunya waktu
(sampai dengan 30 September 2008). Pada 31 Desember 2007
perusahaan mencatat jurnal penyesuaian untuk mengakui bagian sewa
gedung dibayar dimuka yang berubah menjadi biaya.
d. Pengakuan biaya yang belum dicatat; sebagai contoh, perusahaan telah
menikmati jasa listrik tetapi sampai dengan akhir periode belum dibayar
karena lazimnya biaya listrik dibayarkan satu bulan setelah pemakaian
listrik. Walaupun belum membayar tagihan listrik, perusahaan harus
mengakuinya sebagai biaya listrik dalam periode dimana jasa listrik
tersebut dinikmati. Oleh karenanya, perusahaan mencatat jurnal
penyesuaian untuk mengakui biaya yang sudah dinikmati tetapi belum
dilakukan pencatatan akuntansi.
e. Pengakuan pendapatan yang berasal dari pendapatan diterima dimuka;
sebagai contoh, pelanggan membayar dimuka sewa kendaraan untuk
satu tahun. Pada tanggal transaksi, pendapatan diterima dimuka
tersebut bagi perusahaan merupakan utang. Seiring dengan berjalannya
waktu, utang tersebut akan berubah menjadi pendapatan. Oleh
karenanya, pada akhir periode perusahaan mencatat jurnal
penyesuaian untuk mengakui sebagian pendapatan diterima dimuka
yang telah berubah menjadi pendapatan.
f. Pengakuan pendapatan yang belum dicatat; sebagai contoh, setiap awal
bulan perusahaan memperoleh bunga bank yang berasal dari deposito.
Pada akhir periode perusahaan belum mencatat bunga bank untuk
bulan Desember 2007 sebagai pendapatan karena bank baru akan
mentransfer bunga tersebut pada awal Januari 2008. Walaupun belum
menerima kas, perusahaan seharusnya mengakui bunga bank untuk
bulan Desember tersebut sebagai pendapatan. Oleh karenanya,
perusahaan mencatat jurnal penyesuaian untuk mengakui pendapatan
bunga bank tersebut.
g. Pengakuan biaya dari piutang tak tertagih; penjualan kredit
memungkinkan terjadinya kerugian akibat tidak tertagihnya piutang.
Oleh karenanya, perusahaan memperkirakan kerugian akibat dari
piutang tidak tertagih dan mengakuinya sebagai biaya melalui
pencatatan di jurnal penyesuaian.
Contoh:
Bila kita merima pesanan (Purchase Order) suatu barang dari customer, dengan menerima pembayaran dimuka sesuai aturan tertentu yang ditetapkan misalnya 50%. Cash yang kita terima tersebut adalah bagian dari hutang kita terhadap bayer sejumlah cash yang kita terima. Utang tersebut biasanya dibukukan pada rekening “Pendapatan diterima dimuka”. Pada saat barang yang dipesan sudah kita penuhi bagian piutang akan mencatat sejumlah total invoice padahal piutang seharusnya adalah sebesar 50% dan pedapatan diterima dimuka seharus menjadi 0 (Nol). Pada saat ini diperlukan jurnal memorial untuk menghapus pembayaran dimuka dengan mendebet hutang(pendapat diterima dikumka)  dan mengkredit piutang. Dalam kasus ini kami membuat memorial kredit yang secara automatis membuat ayat jurnal memorial yang mengkredit piutang dan mendebet penadapan diterima dimuka.
Dalam menangani Jurnal Penyesuaian Saya menggunakan 3 form elektronik :
  • Memorial Debet : Form untuk membuat memorial yang secara automatis akan mengupdate buku utang, membuat jurnal memorial yang akan mendebet Hutang Dagang dan mengktedit biaya dibayar dimuka.  (terhubung ke data supplier)
  • Memorial Kredit  :  Form untuk membuat memorial debet yag secara utomatis mengupdate buku piutang, membuat jurnal memorial yang akan mendebet Pendapatan diterima dimuka dan mengktedit Piutang Dagang. (terhubung ke data customer)
  • Serba serbi : Form ini tidak terhubung dengan buku transaksi contoh : penyesuaian persediaan.
Prosedure pembuatan ayat penyesuaian
PERSEDIAAN BARANG DAGANG
memakai perkiraan harga pokok (cost of good sold)
Harga pokok penjualan Rp.x.xxx  
      Persediaan barang dagang (awal)   Rp.x.xxx
Harga pokok penjualan Rp.x.xxx  
      Pembelian   Rp.x.xxx
Harga pokok penjualan Rp.x.xxx  
      Ongkos angkut pembelian   Rp.x.xxx
Persediaan barang dagang  (akhir) Rp.x.xxx  
      Harga pokok penjualan   Rp.x.xxx
Pembelian retur & potongan harga Rp.x.xxx  
      Harga pokok penjualan   Rp.x.xxx
Memakai perkiraan Ikhtisar Laba Rugi
Ikhtisar Laba Rugi Rp.x.xxx  
     Persediaan barang dagang awal   Rp.x.xxx
Persediaan Barang dagang akhir Rp.x.xxx  
     Ikhtisar Laba Rugi   Rp.x.xxx
PERSEDIAAN AKHIR
JIKA SALDO SEMENTARA <  STOCK OPNAME
Persediaan/barang dalam proses
Rp.x.xxx
 
Koreksi pemakaian bahan  
Rp.x.xxx
JIKA SALDO SEMENTARA > STOCK OPNAME
Koreksi pemakaian bahan
Rp.x.xxx
 
Persediaan/barang dalam proses   
Rp.x.xxx

BIAYA DIBAYAR DI MUKA
Bila saat pembayaran dibukukan sebagai biaya dibayar di muka
Biaya …. Rp.x.xxx  
     …… dibayar di muka   Rp.x.xxx
 Bila saat pembayaran dibukukan sebagai biaya
…… dibayar di muka Rp.x.xxx  
       Biaya ….   Rp.x.xxx

PENGHASILAN DITERIMA DIMUKA
Bila saat penerimaan dicatat sebagai utang
…….  Diterima dimuka Rp.x.xxx  
         Pendapatan …….   Rp.x.xxx
 bila saat penerimaan dicatat sebagai pendapatan
Pendapatan ………….. Rp.x.xxx  
      Diterima dimuka   Rp.x.xxx
 Piutang penghasilan
Penghasilan ymh diterima Rp.x.xxx  
      Pendapatan   Rp.x.xxx

BIAYA YANG MASIH HARUS DIBAYAR
Biaya ….. Rp.x.xxx  
      …… biaya ymh dibayar   Rp.x.xxx

PENYUSUTAN AKTIVA TETAP
Biaya penyusutan Rp.x.xxx  
      Akumulasi penyusutan   Rp.x.xxx
PIUTANG DIRAGUKAN (TIDAK SEHAT)


PEMBAGIAN LABA
A. PADA WAKTU DITETAPKAN
Debet - Sisa Laba Rugi
Rp.x.xxx
 
Kredit - Laba dibagi  
Rp.x.xxx
B. PADA WAKTU DIBAYAR
Debet - Laba dibagi
Rp.x.xxx
 
Kredit - Kas atau bank  
Rp.x.xxx

Selasa, 04 September 2012



Akuntansi Pendapatan: Beberapa Macam Metode Pengakuan Pendapatan

Perbedaan metode pengakuan pendapatan bisa membuat perusahaan menjadi nampak lebih profitable atau tidak, nampak sehat atau sakit-sakitan. Lucu dan ajaibnya, bisa membuat team manajemen dapat bonus besar atau kecil. metode pengakuan pendapatan yang diterapkan oleh suatu perusahaan sangat penting untuk dicermati dan dipelajari tentunya. Sebagai orang akuntansi, ya kudu tahu seluk-beluknya, minimal hal-hal yang sifatnya mendasar seperti macam-macam metode pangakuan pendapatan. Oke. Tulisan ini bagian dari seri pengenalan akuntansi pendapatan. Di tulisan sebelumnya sudah dibahas mengenai ketentuan dasar pengakuan pendapatan. Ditulisan ini saya akan perkenalkan beberapa macam metode pengakuan pendapatan yang lumrah diterapkan dalam berbagai jenis usaha dan kasus-kasus tertentu.
Karena ini berupa pengenalan, maka tidak akan disertai contoh kasus. Saya hanya akan menyampaikan hal-hal mendasar yang perlu diketahui, sekedar untuk kenal saja. Sedangkan contoh penerapan dalam kasus akan di bahas metode-per-metode, secara bertahap, agar lebih lengkap dan bisa diterapkan dalam pekerjaan yang sesungguhnya.

Pengkuan Pendapatan Dengan Metode Akrual (Accrual Method)

Pengakuan pendapatan dengan pendekatan akrual termasuk yang paling mendasar, sehingga paling banyak diterapkan (di berbagai jenis usaha dalam berbagai skala).
Pada dasanya metode akrual menggunakan pendekatan yang sama persis seperti yang sudah disampaikan di tulisan sebelumnya, yaitu “Ketentuan Dasar Pengakuan Pendapatan”, KECUALI ketentuan IAS 18 yang ke-2 (recognition at time of payment)—yang cenderung mengarah ke cash-basis. Sehingga, sepanjang ketentuan-ketentuan dasar tersebut telah terpenuhi, maka suatu pendapatan sudah boleh diakui.
Hal yang tak kalah penting untuk diketahui, sehubungan dengan penerapan metode ini adalah, adanya beban dan biaya yang harus diakui untuk disandingkan dengan pendapatan yang dihasilkan dalam periode yang sama—meskipun invoice tagihannya belum datang dari supplier/vendor.

Pengakuan Pendapatan Dengan Metode Kas (Cash Method)

Sederhananya, dengan menggunakan metode kas artinya perusahaan hanya mengakui pendapatan bila kas (atas penyerahan barang/jasa) sudah diterima. Ini metode paling tua yang sudah ada sejak sebelum Prinsip Akuntansi Berterima Umum (GAAP) ada. Dan oleh GAAP (di Indonesia PSAK), pengakuan pendapatan dengan metode kas tidak diijinkan. Itu di masa lalu.
Saat ini, standar akuntansi kita telah mengikuti IFRS. IAS 18, “Revenue” pada ketentuan kedua menyebutkan bahwa: pendapatan belum boleh diakui sampai dengan memperoleh kepastian mengenai kas yang akan diterima—meskipun barang telah diserahkan. Sepertinya, ketentuan ini mengarahkan agar pengakuan pendapatan kembali ke metode kas. Namun sampai saat ini JAK belum memperoleh informasi yang cukup apakah memang demikian maksudnya. Jika iya, tentu ini akan menjadi kontra terhadap ketentuan pengakuan pedapatan versi GAAP di waktu-waktu yang lalu—yang menekankan pentingnya metode akrual. (Note: lebih lengkap mengenai ketentuan dasar pengakuan pendapatan di tulisan sebelumnya).
Catatan: Pada perusahaan-perusahaan retail, dimana kas diterima selalu pada saat penyerahan barang, apakah menggunakan metode kas atau metode akrual menjadi tidak begitu berpengaruh. Perbedaan akan sangat berpengauh ketika kedua metode tersebut diterapkan di perusahaan-perusahaan yang menjual barang dengan sistim kredit.

Pengakuan Pendapatan Metode Pencicilan Penjualan (Installment Sales Method)

Metode pencicilan diterapkan untuk pengakuan pendapatan yang diperoleh dari penjualan yang sistim pembayarannya dicicil—yang dalam ketentuan IFRS dikatakan mengandung tingkat ketidakpastian (uncertainties) yang tinggi.
Misalnya: Tanggal 20 Mei 2012, PT. DIFA mengirimkan stock pakaian sisa ekspor senilai Rp 2 milyar kepada Toko Gaul, sebuah factory outlet di daerah Kemang. Atas penyerahan tersebut, Toko Gaul (pembeli) akan melakukan pencicilan pembayaran secara bertahap selama 4 tahun.
Lamanya tenggang waktu pembayaran yang akan diterima dari Toko Gaul membuat tingkat ketidakpastian pembayaran menjadi tinggi.
Jika PT. DIFA mengikuti ketentuan IFRS, maka PT. DIFA TIDAK BOLEH mengakui pendapatan Rp 2 milyar saat barang dikirimkan dengan pengakuan piutang di sisi lainnya. Dalam kondisi seperti ini, IFRS menyarankan agar perusahaan menerapkan pengakuan pendapatan dengan “metode pencicilan penjualan” (installment sales method.)
Dengan metode pencicilan penjualan, perusahaan mengakui pendapatan HANYA sebesar kas diterima PADA SAAT pencicilan terjadi.
Misalnya: pada contoh kasus di atas, Toko Gaul melakukan pembayaran pertama tanggal 20 Juni 2012 sebesar Rp 200 juta. Maka atas penyerahan yang senilai Rp 2 milyar, PT. DIFA baru boleh mengakui pendapatan HANYA sebesar Rp 200 juta PADA TANGGAL 20 Juni 2012 (tidak lebih besar dari itu dan tidak sebelum itu).
Di sisi lainnya, beban dan biaya sehubungan dengan barang yang diserahkan, diakui secara proporsional sesuai dengan pembayaran yang diterima, disertai dengan pengakuan LABA/RUGI KOTOR TANGGUHAN—sebagai selisih yang timbul akibat pengakuan pendapatan di satu sisinya dan pengakuan beban dan biaya di sisi lainnya—yang nantinya diakui sebagai laba/rugi sebenarnya di akhir periode.
Pembayaran yang dicicil biasanya disertai bunga, jika memang demikian maka bunganya diakui sebagai “pendapatan bunga’ saat diterima .
Sebagai alternative, IFRS juga menawarkan metode pengakuan pendapatan yang disebut dengan “Metode Pemulihan Cost” (Cost Recovery Method)—untuk kasus yang sama (penjualan denga pembayaran bertahap). Metode alternative ini menggunakan kriteria pendapatan yang sama dengan metode pencicilan penjualan, pengakuan pendapatan berdasarkan jumlah kas diterimapun sama, HANYA SAJA laba/rugi kotor tangguhan tidak diakui sebagai laba/rugi kotor sesungguhnya di akhir periode (tahun), melainkan setelah semua cost dipulihkan (diketahui) di periode pencicilan terakhir.
Catatan: untuk contoh kasus konkretnya saya akan bahas di lain kesempatan.

Metode Persentase Penyelesaian (Percentage Of Completion Method)

Metode persentasi penyelesaian diterapkan untuk perusahaan-perusahaan kontraktor yang menangani proyek-proyek konstruksi. Hingga bisa diserahkan kepada pemberi kontrak (pemesan), proyek-proyek konstruksi biasanya membutuhkan waktu yang panjang (lebih dari satu tahun buku). Oleh sebab itu, pemesan biasanya melakukan pembayaran dengan 2 cara:
1. Ada yang melakukan pembayaran sekaligus—biasanya untuk proyek yang membutuhkan waktu penyelesaian yang relatif singkat (satu hingga dua tahun)
2. Ada juga yang melakukan pembayaran secara bertahap—sesuai dengan tingkat perkembangan penyelesaian proyek.
(Catatan: Dalam prakteknya, yang lebih banyak terjadi adalah yang kedua)
IFRS tidak memperkenaankan perusahaan kontraktor untuk mengakui pendapatan sebesar nilai kontrak penuh, saat kontrak ditandatangani, karena sebagian nilai kontrak dianggap mengandung tingkat kepastian ketertagihan yang rendah. Dalam pengertian, kontraktor belum tentu menerima pembayaran dalam jumlah penuh seperti yang tertera dalam kontrak. Sebagai gantinya, IFRS menyarankan agar perusahaan kontraktor menggunakan pengakuan pendapatan dengan metode persentase penyelesaian kontrak.
Dengan metode persentase penyelesaian kontrak, perusahaan kontraktor mengakui pendapatan sebesar persentase tingkat perkembangan penyelesaian kontrak, dengan pengakuan beban dan biaya (di sisi lainnya) yang dilakukan secara proporsional, juga.
Hal yang perlu diketahui oleh perusahaan kontraktor dalam menerapkan metode ini, yaitu:
  • Kontrak yang dimaksudkan haruslah kontrak yang memiliki kekuatan mengikat secara hukum, sehingga tingkat kepastian pendapatan menjadi tinggi—sepanjang kewajiban pengerjaan proyek dilakukan sesuai ketentuan di dalam kontrak.
  • Perusahaan perlu melakukan administrasi pencatatan yang rapi sehingga setiap beban dan biaya yang timbul bisa ditelusuri dan dihubungkan dengan pendapatan secara akurat.
Catatan: Untuk contoh kasusnya yang konkret, silahkan baca “Penerapan Metode Persentase Penyelesaian Kontrak konstruksi“ dan “Dasar Pengakuan Pendapatan dan Biaya Kontrak Konstruksi” yang sudah dipublikasikan sebelumnya. Tulisan tersebut dibuat berdasarkan praktek yang lumrah terjadi di perusahaan kontraktor, sehingga diyakini oleh penulisnya bisa memberi gambaran penerapan metode ini dalam praktek kerja yang sesungguhnya.

Metode Penyelesaian Kontrak (Completed Contract Method)

Masih di bidang usaha konstruksi, menelusuri beban dan biaya lalu menghubungkannya dengan pendapatan kontrak yang diperoleh (dengan menerapkan metode persentase penyelesaian), bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan—terutama kemungkinan adanya penambahan beban dan biaya, serta pendapatan yang diperoleh dalam suatu kontrak.
Sebagai alternative yang secara teknis dianggap lebih masuk akal—jika dibandingkan dengan metode persentase penyelesaian kontrak—adalah metode penyelesaian kontrak (completed contract method).
Dengan metode ini, perusahaan kontraktor melakukan pengakuan pendapatan secara sekaligus saat kontrak sudah rampung, sehingga pendapatan dan beban/biaya sudah diketahui secara pasti.
HANYA SAJA, dengan metode ini, laporan keuangan perusahaan kontraktor menjadi terlihat sangat buruk ketika dibandingkan antara satu periode dengan periode lainnya (di satu periode mungkin nyaris tanpa aktivitas—meskipun kenyataannya ada, sedangkan di periode lainnya mungkin aktivitasnya nampak sangat tinggi—meskipun sebagian aktivitas yang sesungguhnya telah terjadi di periode sebelumnya.
Oleh sebab itu, metode ini menjadi tidak disukai oleh para pengguna laporan keuangan (stake holders), karena tidak dapat memberi gambaran yang bisa mewakili kondisi perusahaan yang sesungguhnya. Pada akhirnya, para pengguna laporan keuangan lebih memilih menggunakan metode persentase penyelesaian (metode yang sebelumnya) bila pendapatan bisa diestimasi.

Metode Kinerja Proporsional (Proportional Performance Method)

Bukan hanya di perusahaan yang bergerak dalam bidang konstruksi, kondisi serupa juga terjadi di perusahaan-perusahaan jasa yang mengerjakan suatu pesananan pekerjaan jasa dalam jangka waktu yang panjang (lebih dari satu tahun buku).
Misalnya: jasa penyusunan Sistim Pengendalian Intern dan Standard Operating Procedure, jasa pembangunan dan penyusunan jaringan komputer (networking), jasa pembuatan software untuk industri tertentu (hotel, retail, dll).
Untuk kondisi seperti ini, perusahaan jasa dianjurkan untuk melakukan pengakuan pendapatan dengan “metode kinerja proporsional” (proportional performance method). Dengan satu catatan, tingkat perkembangan pekerjaan jasa yang dilakukan bisa diidentifkasi dan diestimasi.
Dengan menerapkan metode ini, perusahaan jasa mengakui pendapatan secara bertahap sesuai dengan porsi kinerja yang telah dilakukan di periode tersebut. Nilai pendapatan yang diakui adalah sebesar PORSI perbandingan antara “beban langsung” (direct cost) yang timbul di periode tersebut dengan total beban langsung bila pekerjaan jasa telah rampung, nantinya.

Pengakuan Pendapatan Dengan Metode Produksi (Production Method)

Metode produksi menentukan besarnya pendapatan dengan menggunakan nilai persediaan yang dihitung dengan harga pasar, dikurangi biaya angkut ke tempat dimana komoditi dijual dan beban-beban yang menyertainya.
Metode pengakuan pendapatan yang satu ini termasuk langka penarapannya, karena sampai saat ini belum diijinkan oleh standar. Kecuali untuk jenis komoditi spesifik—yang memiliki market sudah pasti dan mudah dijual dengan harga pasar, misalnya: emas, perak, tepung.
Pun kebanyakan pedagang komoditi semacam itu, masih lebih suka menghitung persediaan sebesar cost—bukan harga pasar, kemudian pendapatan diakui sebesar harga jual pada saat laku. Itu sebabnya saya katakan metode ini termasuk langka dalam penerapannya, saya pikir hanya diterapkan bila perusahaan mengalami kesulitan untuk menghitung harga pokok penjualan.
Sebagai bahan pengenalan, saya rasa, tak ada ruginya untuk tahu.

Pengakuan Pendapatan Dengan Metode Perskot (Deposit Method)

Di perusahaan-perusahaan pengembang real estate, ada kalanya terjadi transaksi penjualan property dengan kondisi tertentu. Misalnya:
Pembeli membayar uang muka sebesar 30%, akan tetapi berhak untuk menerima kembali uang muka tersebut jika pembeli memutuskan untuk membatalkan pembelian sampai pada batas waktu tertentu.”
Untuk penjualan seperti ini, pengembang tidak dibenarkan untuk mengakui pendapatan (atas penjualan tersebut), sampai dengan batas waktu masa berlakunya pembatalan terlewati. Untuk sementara, uang muka yang diterima tersebut diakui sebagai “Perskot” (Deposit) dalam kelompok kewajiban di Neraca.
Itulah, kurang-lebih, pengakuan pendapatan dengan metode perskot (deposit method).

Invoice Diterbitkan Tetapi Barang Ditahan (Bill and Hold Transactions)

Ada kalanya dimana suatu pabrik sudah menyelesaikan barang yang diproduksi, lalu menerbitkan invoice, akan tetapi barangnya tidak dikirimkan, melainkan disimpan di gudangnya sendiri. Apakah ini dibolehkan?
Ini jelas bersebrangan dengan ketentuan dasar pangakuan pendapatan—yang mensyaraktkan: pendapatan hanya boleh diakui apabila barang sudah diserahkan dan risiko yang melekat pada barang sudah berpindah ke tangan pembeli.
Akan tetapi, ini dibolehkan untuk satu alasan khusus, yaitu: pembeli memang meminta barang tersebut untuk tidak dikirimkan untuk sementara karena gudang pembeli sudah penuh—tidak ada lagi untuk tempat menyimpan barang. Dengan kata lain, barang tersebut adalah BARANG TITIPAN si pembeli, yang artinya: meskipun barang tersebut masih di gudang si penjual, risiko yang melekat pada barang sudah menjadi tanggungjawab si pembeli.
Tentu ini akan sangat mudah ‘dimainkan’ oleh manajemen nakal yang bermaksud mengangkat nilai pendapatan. Sehingga agar metode ini bisa diterima, maka ada syarat-syarat khusus yang harus terpenuhi, yaitu:
  • Term penjualan (atas barang yang ditahan) tidak mengandung persyaratan yang menyebutkan kemungkinan terjadinya pembatalan dari pihak pembeli setelah barang selesai dikerjakan dan invoice diterbitkan.
  • Barang yang ditahan harus dalam keadaan yang siap untuk dikirimkan sewaktu-waktu.
  • Barang yang ditahan harus tersimpan sedemikian rupa sehingga tidak tercampur dengan barang persediaan yang belum terjual (biasanya di tempatkan di rak yang terpisah dengan skat yang jelas).
  • Kelompok barang ditahan (yang raknya sudah dipisahkan) harus diberi sticker atau alat lain yang menyebukan nama pembeli yang memiliki barang tersebut.
  • Di dalam system (buku catatan) persediaan, barang yang ditahan tidak boleh masih berstatus tersedia untuk dijual. Untuk itu harus sudah berstatus terkirim. Dalam prakteknya, biasanya dibuatkan nama warehouse (gudang) baru, yang disebut dengan “Gudang Pelanggan” secara virtual—meskipun fisiknya ada di dalam gudang penjual itu sendiri.
  • Penjual (yang mengakui sebagai pendapatan) harus bisa menunjukan surat pernyataan resmi dari pembeli (bisa dalam bentuk kontrak) yang menyebutkan dengan jelas dan tegas bahwa: pembeli memang telah membeli barang tersebut dan menanggung semua risiko yang mungkin timbul atas barang tersebut.
  • Pembeli harus memiliki alasan yang benar dan masuk-akal mengapa meminta agar barang tersebut tidak dikirimkan terlebih dahulu (misal: tidak memiliki gudang penyimpanan yang cukup).

Tata Cara Pengakuan Pendapatan Untuk Transaksi Spesifik (Khusus)

Disamping berbagai metode pengakuan pendapatan di atas, masih ada lagi beberapa tata cara pengakuan pendapatan untuk transkasi-transkasi tertentu yang bersifat sangat khusus, di wilayah yang sangat khusus atau dalam kasus yang sangat khusus. Diantaranya:
1. Transaksi Perusahaan Broker – Pendapatan perusahaan broker atau agen atau ‘calo’ berupa “komisi” yang tentu saja nilainya sangat kecil (hanya sekian persen) jika dibandingkan dengan transaksi penjualan darimana komisi diperoleh.
Misalnya: perusahaan agen real estate memperoleh komisi Rp 20 juta dari Rp 2 milyar transaksi penjualan rumah. Entah disengaja atau tidak, ada kejadian dimana perusahaan broker mengakui pendapatan sebesar 2 milyar. Ini tidak dibolehkan. Tetapi bisa jadi perusahaan brokernya memang memiliki property sendiri yang dijual, bukan?
Nah untuk mengakui seluruh penjualan (2 milyar dalam contoh) sebagai pendapatan, minimal dua syara ini harus terpenuhi:
  • Perusahaan broker adalah penanggung risiko penuh atas semua kemungkinan risiko rugi (entah itu berupa klaim atas kualitas yang tidak sesuai, piutang tak tertagih, pembatalan transaksi, dll) yang timbul dari pembeli.
  • Broker bertindak selaku prinsipal atau pihak yang mengelola proses transaksi dengan wewenang penuh—sejak awal transaksi hingga pembayaran terjadi—tanpa dicampuri oleh otoritas pihak lain.
2. Fee Inisiasi – Yang disebut inisiasi fee adalah fee yang dibayar oleh pelanggan untuk memperoleh layanan tertentu—sebagai bagian dari kontrak langganan yang lain. Misalnya: Hotel membuka keanggotaan klub untuk pelanggan-pelanggannya agar bisa menginap di hotel tersebut dengan harga tertentu. Pada hari-hari tertentu (tahun baru misalnya), hotel membuka paket tertentu dengan fee inisiasi sebesar Rp 50 ribu per anggota klub. Atas inisiasi fee (sebesar Rp 50 ribu per anggota) yang diterima, hanya boleh diakui sebagai pendapatan apabila: dengan fee inisiasi tersebut anggota klub bisa memperoleh jasa tertentu (misalnya: pesta malam tahun baru) yang tidak bisa diperoleh oleh anggota yang tidak membayar fee.
3. Akresi dan Apresiasi – Jumlah aset peralatan kerja yang digunakan oleh perusahaan mungkin terus bertambah (mengalami akresi), atau nilai peralatan tersebut mungkin juga mengalami kenaikan (mengalami apresiasi). Ada kalanya, terutama perusahaan-perusahaan besar menganggap akresi dan apresiasi sebagai bentuk pendapatan yang diakui melalui akun “pendapatan belum teralisasi” (unrealized gain)—untuk dilawankan dengan beban dan biaya yang timbul atas aset tersebut. Apakah praktek ini dibolehkan? Tidak boleh, sampai aset tersebut terjual dan risiko atas aset tersebut berpindah tangan ke pihak lain (pembeli).
Seperti sudah sering saya sebutkan, topik akuntansi sangat luas dan terus berkembang dari waktu-ke-waktu mengikuti dinamika lingkungan bisnis tentunya. Sebagai orang accounting, terlebih-lebih yang sudah akuntan, menguasai berbagai teknis akuntansi sekaligus update terhadap perkembangan standar adalah penting. Bisa dibilang, pembelajaran bagi orang accounting adalah pembelajaran sepanjang waktu dan seumur hidup, setidaknya sampai memutuskan untuk berhenti belajar.
Untuk sementara, pengenalan berbagai macam metode pengakuan pendapatan di seri akuntansi pendapatan ini, saya rasa sudah lebih dari cukup. Untuk detail dari masing-masing metode ini, DIFA akan bahas satu-per-satu secara bertahap. Jika sudah tidak sabar, silahkan baca PSAK atau IAS terkait dengan pengakuan pendapatan (revenue recognition). I’ll see you again on the next post.

Jumat, 31 Agustus 2012

Akuntansi Persediaan: 

Sistem Periodik & Perpetual

Dalam akuntansi persediaan, ada dua sistem yang biasa digunakan, yaitu: sistem periodik dan sistem perpetual. Bagi pegawai accounting, sistem persediaan periodik atau perpetual—yang diterapkan di dalam perusahaan—menentukan bagaimana pencatatan transaksi persediaan dilakukan. Sedangkan bagi pengelola keuangan dan pengelola usaha, sistim persediaan yang diterapkan menentukan seberapa efektif persediaan bisa dikelola—terutama aspek pengawasannya.
sebelum lebih lanjut ke dalam pokok pembahasan,sebelumnya mari kita cari tau dulu apa itu persediaan dan implikasinya terhadap laporan keuangan.

Persediaan dan Impilkasinya Terhadap Laporan Keuangan


Sederhananya, yang disebut persediaan adalah apa yang oleh masyarakat umum kenal dengan istilah “stok”. Di Eropa, sampai sekarang masih menggunakan istilah “stock”. Tetapi secara international persediaan disebut dengan istilah “inventory”, yang disebut stock justru saham.
Mau disebut inventory, mau disebut stock, silahkan. Yang lebih penting di sini: wujud dari persediaan itu berupa apa?
Wujud fisik persediaan suatu perusahaan tergantung pada jenis usahanya. Meskipun pada kenyataannya ada banyak jenis atau model usaha, dalam akuntansi untuk tujuan penyederhanaan jenis usaha biasanya hanya dibagi menjadi 3 kelompok saja.
Berikut adalah 3 jenis perusahaan beserta persediaannya:
  • Perusahaan Jasa (exa: konsultan, agen, broker, dll) – Tidak memiliki persediaan
  • Perusahaan Dagang (exa: toko, mini market, dll) – Persediaannya berupa barang jadi
  • Perusahaan Manufaktur (exa: pabrik gula, pabrik pakaian jadi, dll) – Persediaannya berupa: (a) bahan baku; (b) bahan penolong; (c) barang dalam proses; dan (d) barang jadi.
Persediaan berimplikasi luas terhadap pelaporan keuangan dan pengelolaan keuangan perusahaan.
Apa implikasinya terhadap laporan keuangan? Persediaan berimplikasi langsung terhadap Neraca dan Laporan Laba-Rugi:
  • Di Neraca, persediaan disajikan dalam kelompok “Aktiva Lancar” (current assets)—setelah akun “Piutang” (silahkan lihat contoh format Neraca), sehingga besar-kecilnya nilai saldo persediaan yang disajikan berpengaruh terhadap besar kecilnya nilai aktiva (aset) secara keseluruhan.
  • Di Laporan Laba Rugi, besar kecilnya penggunaan persediaan (bahan baku, bahan penolong dan barang jadi) menentukan besar kecilnya “Harga Pokok Penjualan” (HPP), yang pada akhirnya juga akan menentukan besar kecilnya “Laba” atau “Rugi” yang disajikan di dalam laporan laba-rugi. Pada akhirnya, besar-kecilnya laba/rugi yang dibukukan pada suatu periode akuntansi berimplikasi terhadap besar-kecilnya “Laba Ditahan” (Retained Earning) yang disajikan di Neraca—persisnya di kelompok akun “Ekuitas.”

 Pertanyaannya: Apakah penerapan sistim persediaan periodik/perpetual berpengaruh terhadap laporan keuangan? Maksud saya, apakah dengan menggunakan sistim perpetual membuat laporan keuangan menjadi berbeda jika dibandingkan dengan menggunakan sistim periodik?
Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita lihat perbandingan antara sistim persediaan periodik dengan perpetual. Yuk pindah ke paragraf berikutnya…

Perbedaan Paling Fundamental Antara Sistem Periodik dan Perpetual

Perbedaan paling mencolok antara sistim periodik dengan sistim perpetual ada pada 2 hal:
1. Penentuan Nilai Saldo Akhir Persediaan di Neraca:
(a) Sistim Periodik – Jika perusahaan menerapkan sistim periodik, nilai saldo akhir persediaan di Neraca ditentukan dengan cara melakukan penghitungan fisik persediaan yang lumrah dikenal dengan istilah “stok opname” —sederhananya; di akhir periode, fisik barang bersediaan (bahan baku, bahan penolong, barang dalam proses dan barang jadi) dihitung jumlahnya. Jumlah fisik barang lalu dikalikan dengan Harga Pokok Penjualan (HPP) satuan barang.
(b) Sistim Perpetual – Jika yang diterapkan adalah sistim perpetual, perusahan tidak perlu melakukan penghitungan fisik untuk menentukan nilai saldo akhir persediaan., karena setiap transaksi terkait dengan persediaan—baik kenaikan maupun penurunan—telah dicatat melalui penjurnalan. Meskipun demikian, penghitungan fisik tetap dilakukan untuk kemudian dibandigkan dengan saldo akhir yang ditunjukan oleh buku persediaan. Jika terjadi perbedaan antara saldo akhir hasil penghitungan fisik dengan saldo akhir yang ditunjukan oleh buku persediaan, maka dibuatkan rekonsiliasi persediaan dengan memasukan jurnal penyesuaian persediaan (inventory adjustment entry).
2. Penentuan Persediaan Digunakan (atau Terjual) dalam Harga Pokok Penjualan:
(a) Sistim Periodik – Jika perusahaan menggunakan sistim periodik, maka nilai persediaan yang digunakan (dan terjual) untuk dibebankan sebagai “Harga Pokok Penjualan”, dihitung dengan cara menjumlahkan saldo awal persediaan dengan total pembeliaan (atau persediaan masuk) lalu dikurangi dengan saldo akhir persediaan yang diperoleh melalui penghitungan fisik. Misalnya: Data persediaan FD Mart (perusahaan dagang) untuk tahun 2012 adalah sbb:
  • Saldo awal = Rp 20,000,000
  • Pembelian Bersih Jan s/d Des 2012 = Rp 150,000,000
  • Saldo akhir 31 Desember 2012 (diketahui setelah penghitungan fisik) = Rp 22,000,000
Harga Pokok Penjualan = 20,000,000 + 150,000,000 – 22,000,000 = 148,000,000. Selanjutnya harga pokok ini dimasukan dengan journal penyesuaian (sebentar lagi kita bahas di perbandingan jurnal.)
(b) Sistim Perpetual – Dengan sistim perpetual, perusahaan tidak perlu lagi membuat perhitungan seperti pada sistim periodik karena penggunaan persediaan langsung diakui setiap kali ada penjualan dengan mendebit akun “Harga Pokok Penjualan” dan mengkredit “Persediaan” di sisi lainnya, seperti jurnal di bawah ini:
[Debit]. Harga Pokok Penjualan = xxx
[Kredit]. Persediaan = xxx
Oke. Dengan sistim perpetual setiap transaksi yang mengakibatkan kenaikan atau penurunan volume persediaan selalu dicatat dengan memasukan jurnal begitu transaksi terjadi. Apakah dengan sistim periodik transaksi-transaksi yang terjadi tidak dicatat samasekali?” Mungkin ada yang berpikir seperti itu.
Tentu saja dicatat. Hanya saja, biasanya, menggunakan nama akun berbeda dibandingkan jika menggunakan sistim perpetual. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat transaksi-per-transaksi. Lanjut…

Perbandingan Sistim Periodik & Perpetual Transaksi-Per-Transaksi

Ada banyak transaksi yang mengakibatkan volume persediaan menjadi meningkat atau menurun selama satu periode. Di sini kita lihat perbandingan sistim periodik dan perpetual transaksi-per-transaksi, jurnal-per-jurnal.
1. Pembelian dan Penjualan Barang
Dalam sistim perpetual, pembelian dan penjualan barang persediaan dicatat langsung ke akun “Persediaan,” dengan kata lain: perubahan nilai nominal dan volume persediaan langsung terlihat dalam buku besar (ledger) persediaan setiap kali ada transaksi pembelian dan penjualan. Sedangkan dalam sistim periodik yang dicatat hanya kenaikan nilai dan volume persediaan melalui akun yang disebut dengan “Pembelian”, sementara tidak mencatat adanya penurunan pada setiap transaksi penjualan yang terjadi (penurunan persediaan diakui sekaligus di akhir periode dengan melakukan pemeriksaan fisik). Untuk lebih jelasnyanya, kita lihat contoh berikut ini:
DIFA Mart, Perusahaan Grossir, menunjukan data sbb:
(a) Saldo Awal Persediaan = 100 units @ Rp 60,000 = Rp 6,000,000
(b) Pembelian = 900 units @ Rp 60,000 = Rp 54,000,000
(c) Penjualan = 600 units @ Rp 120,000 = Rp 72,000,000
(d) Saldo Akhir = 400 units @Rp 60,000 = Rp 24,000,000
(Note: Untuk menghindari penggunaan cost flow yang bisa membingungkan, kita asumsikan cost per unit persediaan konstan dari awal hingga akhir periode)
Jika DIFA Mart menggunakan sistim perpetual, maka alur transaksi dan jurnalnya akan nampak sbb:
(a) Saldo awal persediaan (di Neraca) = Rp 6,000,000
(b) Pembelian 900 units dengan harga Rp 60,000 per unit dicatat dengan jurnal:
[Debit]. Persediaan = Rp 54,000,000
[Kredit]. Utang Dagang = Rp 54,000,000
(c) Penjualan 600 units dengan harga Rp 120,000 per unit dicatat dengan sepasang jurnal:
[Debit]. Piutang Dagang = Rp 72,000,000
[Kredit]. Penjualan = Rp 72,000,000
(Untuk mengakui penjualan dan piutang)
Dan;
[Debit]. Harga Pokok Penjualan = Rp 36,000,000
[Kredit]. Persediaan = Rp 36,000,000
(Untuk mengakui harga pokok penjualan sekaligus penurunan nilai inventory, 60,000 x 600 = Rp 36,000,000.)
(d) Kecuali ada perbedaan antara hasil penghitungan fisik dengan buku, maka tidak ada jurnal penyesuaian yang perlu dimasukan. Saldo akhir persediaan otomatis menunjukan nilai Rp 24,000,000.
Bagaimana jika DIFA Mart menggunakan sistim periodik? Jurnalnya akan nampak sebagai berikut:
(a) Saldo awal persediaan (di Neraca) = Rp 6,000,000
(b) Pembelian 900 units dengan harga Rp 60,000 per unit dicatat dengan jurnal:
[Debit]. Pembelian = Rp 54,000,000 (menggunakan akun pembelian)
[Kredit]. Utang Dagang = Rp 54,000,000
(c) Pada sistim periodik, penjualan 600 units dengan harga Rp 120,000/unit dicatat hanya dengan satu jurnal saja—untuk mengakui penjualan dan piutang dagang (Note: penurunan persediaan dan pengakuan harga pokok penjualan dilakukan sekaligus di akhir periode):
[Debit]. Piutang Dagang = Rp 72,000,000
[Kredit]. Penjualan = Rp 72,000,000
(Untuk mengakui penjualan dan piutang)
(d) Di akhir periode, setalah dilakukan penghitungan fisik, DIFA memasukan jurnal penyesuaian—untuk mengakui persediaan, harga pokok penjualan, sekaligus ‘menghapus’ saldo akun “Pembelian”—sebagai berikut:
[Debit]. Persediaan = Rp 18,000,000
[Debit]. Harga Pokok Penjualan = Rp 36,000,000
[Kredit]. Pembelian = Rp 54,000,000
Note: Dengan jurnal penyesuaian yang dimasukan di akhir periode ini, maka saldo akun “Pembelian” menjadi nol, saldo akhir persediaan di Neraca menjadi Rp 24,000,000 (=saldo awal 6,000,000 + adjustment kenaikan 18,000,000), dan muncul Harga Pokok Penjualan di Laporan Laba-Rugi sebesar Rp 54,000,000 (=6,000,000 + 54,000,000 – 24,000,000).
2. Retur Pembelian, Diskon Pembelian dan Cadangan
Apa yang terjadi jika ada retur pembelian atau diskon? Perusahaan yang menerapkan sistim periodik, disamping menggunakan akun “Pembelian” yang bersaldo debit mereka juga menggunakan 2 kontra-akun pembelian (bersaldo kredit) yang diberi nama “Retur Pembelian” dan “Diskon Pembelian.” Jika ada pembelian yang dikembalikan (retur pembelian) atau memeperoleh potongan, maka kontra akun ini menjadi pengurang nilai “Pembelian”. Hasil silang saldo “Pembelian” dan kedua kontra-akun ini menghasilkan apa yang disebut dengan “Pembelian Bersih”. Bagaimanapun juga, semua slado akun ini (Pembelian, Diskon Pembelian dan Retur Pembelian) bersifat sementara saja, nantinya akan dihapus degan jurnal penyesuaian di akhir periode (seperti terlihat pada contoh jurnal penyesuaian sebelumnya). Untuk lebih konkoretnya, kita buat satu contoh transaksi:
Karena adanya kerusakan, DIFA Mart mengembalikan pembelian barang sebesar Rp 7,000,000.
Jika DIFA Mart menerapkan sistim perpetual, maka DIFA akan mengakui penurunan nilai utang sekaligus langsung mengakui penurunan nilai persediaan, dengan jurnal:
[Debit]. Utang Dagang = Rp 7,000,000
[Kredit]. Persediaan = Rp 7,000,000
(Note: Pengembalian barang mengurangi nilai persediaan sebesar Rp 7,000,000)
Jika DIFA Mart menerapkan sistim periodik, maka jurnalnya adalah sbb:
[Debit]. Utang Dagang = Rp 7,000,000
[Kredit]. Retur Pembelian = Rp 7,000,000
(Note: pembelian megurangi nilai pembelian)
Lanjut dengan diskon…
Di lain kesempatan DIFA Mart membeli barang sebesar Rp 10,000,000 dengan termin kredit 2/10, n/30. Karena DIFA Mart bisa melakukan pelunasan seminggu setelah pembelian, maka DIFA Mart memperoleh diskon 2%. Bagimana jurnalnya?
Jika menerapkan sistim perpetual, maka saat pembelian DIFA Mart memasukan jurnal:
[Debit]. Persediaan = Rp 10,000,000
[Kredit]. Utang Dagang = Rp 10,000,000
Saat pelunasan, diskon Rp 200,000 tersebut sekaligus diakui sebagai pengurang nilai persediaan, dengan jurnal:
[Debit]. Utang Dagang = Rp 10,000,000
[Credit]. Persediaan = Rp 200,000
[Credit]. Kas = Rp 9,800,000
Jika menggunakan sistim periodik, maka saat pembelian jurnal yang dimasukan adalah:
[Debit]. Pembelian = Rp 10,000,000
[Kredit]. Utang Dagang = Rp 10,000,000
Diskon yang diperoleh tidak diakui sebagai pengurang nilai persediaan (ingat: sistim periodik tidak mencatat persediaan tetapi “pembelian”), melainkan dicatat sebagai “Diskon Pembelian.” Sehingga jurnal yang dimasukan ketika melakukan pelunasan adalah sbb:
[Debit]. Utang Dagang = Rp 10,000,000
[Credit]. Diskon Pembelian = Rp 200,000
[Kredit]. Kas = Rp 9,800,000
3. Retur Penjualan dan Diskon Penjualan
Transkasi lainnya yang terkait dengan persediaan adalah retur penjualan dan diskon penjualan. Pada transaksi ini, baik sistim perpetual maupun sistim periodik sama-sama meggunakan akun yang diberi nama “Retur Penjualan” dan “Diskon Penjualan” yang kedua-duanya merupakan kontra-akun penjualan (bersaldo debit), bedanya hanya di pengakuan “Harga Pokok Penjualan”. Pada sistim perpetual return penjualan, disamping mengakui penurunan piutang dagang dan penurunan penjualan (dengan akun “retur penjualan”) juga mengakui penurunan harga pokok penjualan dan persediaan. Sedangkan pada sistim periodik, tidak. Misalnya:
DIFA Mart menerima barang kembali dari pelanggan (karena cacat) senilai Rp 6,000,000. Harga Pokok Penjualan barang yang diretur tersebut adalah Rp 3,000,000. (Kita asumsikan pengakuan penjualan menggunakan metode bruto/gross method)
Jika menggunakan perpetual, maka DIFA Mart akan mencatat retur tersebut dengan sepasang jurnal:
[Debit]. Retur Penjualan = Rp 6,000,000 (kontra akun penjualan bersaldo debit)
[Kredit]. Piutang Dagang = Rp 6,000,000
(Untuk mengakui retur penjualan)
Dan;
[Debit]. Persediaan = Rp 3,000,000
[Kredit]. Harga Pokok Penjualan = Rp 3,000,000
(Untuk mengakui barang persediaan yang telah dikembalikan sekaligus menguragi harga pokok penjualan).
Sedangkan jika menggunakan sistim periodik, DIFA Mart hanya akan memasukan satu jurnal saja, yaitu:
[Debit]. Retur Penjualan = Rp 6,000,000
[Kredit]. Piutang Dagang = Rp 6,000,000
(Untuk mengakui retur penjualan)
Catatan: Sistim periodik baru akan menghitung saldo persediaan dan mengakui harga pokok penjualan di akhir periode—setelah penghitungan fisik dilakukan.
Selanjutnya, diskon penjualan. Bagaimana pencatatanya?
yapss. Anggap DIFA Mart memberikan diskon Rp 200,000 atas pelunasan pembelian sebesar Rp 10,000,000 dari pelanggan (masih menggunakan metode pengakuan penjualan bruto/gross method)
Sistim perpetual dan sistim periodik memasukan jurnal yang sama persis untuk pelunasan yang mengandung diskon penjualan. Dalam contoh ini:
[Debit]. Kas = Rp 9,800,000
[Debit]. Diskon Penjualan = Rp 200,000 (kontra akun penjualan bersaldo debit).
[Kredit]. Piutang Dagang = Rp 10,000,000
Secara keseluruhan, dari pebandingan jurnal antara sistim periodik dan perpetual, jelas terlihat bahwa:
Terhadap laporan keuangan yang disajikan di setiap akhir periode, menggunakan sistim perpetual atau periodik tidak berpengaruh apa-apa, dalam pengertian: nilai saldo akhir persediaan (yang disajikan di neraca) dan harga pokok penjualan (yang disajikan di laporan laba-rugi), akan menunjukan hasil yang sama.
Bedanya, hanya terjadi pada teknis pengakuan dan nama akun yang digunakan pada setiap pengakuan transaksi. Sistim perpetual selalu mendebit/mengkredit akun “Persediaan” untuk setiap transaksi yang mengakibatkan kenaikan atau penurunan persediaan. Sedangkan sistim periodik untuk sementara—menggunakan akun “Pembelian” untuk setiap penambahan persediaan dan baru memperhitungkan penurunan persediaan di akhir periode sertelah penghitungan fisik dilakukan.
Bagaimana jika perusahaan yang menerapkan sistim periodic terpaksa harus menyajikan laporan padahal periode belum berakhir misalnya: untuk pengajuan kredit? Perusahaan bisa (a) menggunakan laporan periode sebelumnya, atau (b) melakukan penghitungan fisik saat itu juga lalu menjalankan prosedur seperti yang dilakukan di akhir periode.
Oke. Penerapan sistim periodik atau perpetual tidak ada pengaruhnya terhadap laporan keuangan. Bagaimana dengan pengelolaan persediaan dan keuangan secara keseluruhan? Mari kita lihat implikasinya....

Implikasi Penerapan Sistim Periodik dan Perpetual Terhadap Pengelolaan Persediaan

Dari perbenadingan di atas, jelas terlihat bahwa: untuk tujuan pengawasan persediaan, sistim perpetual jauh lebih baik dibandingkan sistim periodik. Dengan sistim perpetual, management dapat mengetahui nilai persediaan sewaktu-waktu tanpa perlu menunggu hingga akhir periode.
Khususnya di perusahaan-perusahaan manufaktur, pengawasan terhadap barang persediaan sangat kompleks dengan adanya potensi barang scrap dan cacat yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan jenis lain. Dalam kondisi seperti ini, jika sistim persediaan yang diterapkan adalah sistim periodik dimana penurunan (volume dan nilai persediaan) baru diperhitungkan di akhir periode, maka kesempatan untuk mengetahui adanya pemborosan bahan baku, bahan penolong dan kemungkinan adanya barang cacat saat dalam proses produksi menjadi lebih sulit ditelusuri kemungkinan baru diketahui setelah di akhir periode, dengan kata lain: sudah terjadi.
Efektifitas pengawasan terhadap barang persediaan berimplikasi besar terhadap pengelolaan keuangan perusahaan secara keseluruhan. Terutama di perusahaan dagang dan manufaktur, sebagian besar kekayaan (asset) perusahaan ada di persediaan entah itu berupa bahan baku, bahan penolong, barang dalam proses maupun barang jadi. Diantara banyaknya beban yang ditanggung oleh operasional perusahaan, penggunaan persediaan cenderung mendominasi. Jika scope-nya dipersempit, persediaan bahkan mengkonsumsi modal kerja (working capital) paling besar.
Itu sebabnya, bagi managemen perusahaan, pemilihan sistim persediaan yang akan diterapkan (apakah menggunakan sistim perpetual atau periodik) menjadi sangat krusial.
Lalu, apakah sebaiknya saya menerapkan sistim persediaan perpetual atau periodik?” Mungkin ada yang berpikir demikian.

Sebaiknya Menggunakan Sisitim Persediaan Periodik atau Perpetual?

Jawaban atas pertanyaan ini sangat tergantung pada situasi dan kondisi opersional perusahaan anda sehari-hari.

Dari aspek pelaporan keuangan, menurut saya, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Menggunakan sistim perpetualpun, toh di akhir periode anda masih harus melakukan stock opname (inventory physical count) untuk memverifikasi keakuratan data persediaan yang diperoleh dari sistim perpetual. Dan, jika terjadi perbedaan antara hasil penghitungan fisik dengan saldo akhir buku, toh anda masih harus membuat rekonsiliasi dan inventory adjustment, iya kan?
Tetapi dari aspek pengawasan persediaan, sistim perpetual jelas lebih baik dibandingkan sistim periodik. Tetapi perlu di sadari bahwa: menerapkan sistim perpetual artinya anda harus siap melakukan pencatatan setiap kali ada transaksi sehubungan dengan persediaan.
Untuk perusahaan-perusahaan berskala besar, jelaslah bahwa sistim perpetual selalu lebih baik—lagipula tenaga untuk melakukan input data setiap saat selalu ada. Tetapi untuk perusahaan berskala sedang dan kecil, menerapkan sistim perpetual bisa menjadi tantangan tersediri. Masih perlu melihat kondisi operasional perusahaan sehari-hari.
Untuk mempermudah, saya buatkan 2 macam perusahaan—dengan karakter opersional yang sangat berbeda, sebagai ilustrasi:
1. Perusahaan Pertama, Computer Wholesaler – Anda mengelola perusahaan yang menjual komputer dalam jumlah besar, pangsa pasar perusahaan anda bisa jadi pengguna akhir maupun pedagang computer eceran. Sebelum memilih apakah menggunakan sistim persediaan periodik atau perpetual, anda perlu mempertimbangkan kondisi operasional perusahaan anda. Bagaimana kondisinya?
  • Barang dagangan anda adalah tergolong bernilai tinggi
  • Iklan produk/perushaan anda muncul di TV atau suratkabar lokal setiap hari
  • Volume penjualan harian anda sangat tinggi
  • Anda mempekerjakan lebih dari 40 orang pegawai sales
  • Anda membayangkan bahwa pelanggan akan sangat kecewa jika mereka datang berbelanja tetapi barang persediaan yang anda iklankan ternyata sudah habis terjual
Dengan kondisi operasional perusahaan seperti ini, apakah menggunakan sistim perpetual cukup masuk akal? Jelas iya. Anda perlu mengetahui saldo persediaan barang setiap hari bahkan mungkin setiap jam atau menit, yang tidak mungkin bisa anda dapatkan jika menggunakan sistim periodik. Dengan sistim perpetual, setiap transkasi penjualan selalu diikuti dengan pencatatan barang keluar, sementara dalam sistim periodik tidak.
2. Perusahaan Kedua, Toko Serba Ada Di Stasiun Kereta Api – Di sini anda mengelola toko yang menjual berbagai macam barang, untuk orang-orang sibuk yang bepergian kesana-kemari dengan kondisi yang selalu terburu-buru. Anda perlu mempertimbangkan kondisi opersional toko anda sebelum memutuskan untuk menerapkan sistim persediaan perpetual atau periodik. Bagaimana situasinya?
  • Penjualan paling banyak terjadi di waktu pagi saat sebagian besar orang buru-buru ke tempat kerja atau ke kampus, dan petang hari saat sebagian besar orang buru-buru pulang ke rumah setelah seharian bekerja.
  • Anda menjual berbagai macam barang mulai dari kertas tisu, permen, koran/majalan, gantungan kunci, stationary, minuman dingin, kue kotak, dll
  • Anda hanya memiliki 2 orang pegawai yang untuk melayani pembeli di waktu-waktu padat sudah terlihat kewalahan, sehingga sering anda sendiri yang ikut membantu.
  • Di jam-jam padat, banyak pelanggan yang sampai harus mengantri untuk membayar—sementara mereka hanya membeli barang-barang kecil yang sesungguhnya bisa dibeli di toko mana saja.
Dalam kondisi operasional seperti ini, apakah menerapkan sistim persediaan perpetual masuk akal? Jelas tidak. Pegawai dan anda tidak akan sempat melakukan aktivitas administrative (termasuk accounting) yang dperlukan untuk menerapkan sistim perpetual. Salah-salah, pelanggan tidak jadi belanja
karena malas menunggu proses.
.
Semoga bermanfaat bagi kita semua ,,